Di Solo, tempat
tinggal saya, dia dinamai oglangan.
Namun, di Bandung, daerah kelahiran saya, kondisi seperti itu dinamakan aliran.
Agak aneh ya? aliran kan sebenarnya istilah untuk sesuatu yang mengalir,
misalnya aliran air atau aliran listrik. Namun, istilah aliran malah dipakai
untuk kondisi MATI LAMPU alias listrik padam atau tak ada aliran listrik yang
mengalir.
Saya belum tahu
apa penyebab mati lampu disebut aliran. Yang saya tahu, setiap ada teriakan
"aliraaaaannn...", semua pasti kalang kabut. Warung dan mini market
dekat rumah diserbu masyarakat yang ingin membeli lilin dan bapak-bapak
pengamanan di kompleks rumah saya kalang kabut berjaga. Maklum, meski rumah
saya di kompleks, tapi dibatasi oleh jalan tembus, perkampungan, tanah kosong,
bahkan kebun bambu yang angker. Tanpa penerangan yang memadai, kompleks rumah
saya adalah sasaran empuk orang-orang berniat jahat.
Saat saya mengalami mati lampu di Bandung dan sekarang di
Solo, rasanya sedih sekali. Namun, ternyata perasaan itu tidak ada apa-apanya
dibandingkan saat saya harus berada dalam kondisi tanpa listrik di Lampung,
ujung timur pulau Sumatera. Bertugas di provinsi itu selama satu tahun membuat
saya nyaris terbiasa dalam kondisi was was dan ketakutan dalam kegelapan.
Bayangkan saja, tengah malam buta, sepulang
bertugas meliput kondisi jalan raya Simpang Pematang-Pematang Panggang hingga
perbatasan Sumatera Selatan, tiba-tiba ban mobil saya pecah. Jalanan gelap, tak
ada listrik. Beruntung, supir mobil yang menemani saya berhasil mengganti ban
sehingga kami bisa pulang. Namun, saat itu bibir saya tak henti-hentinya
melantunkan doa, dzikir, dan ayat suci, mohon diberikan keselamatan.
Kondisi mencekam lainnya saya alami saat
tengah bekerja di kantor. Saat itu pukul 8 malam, hujan deras, dan tiba-tiba
lampu padam. Ruangan kerja saya di lantai dua, dan saat saya turun ke bawah,
saya baru sadar kalau di kantor tidak ada orang. Padahal, kantor saya berada di
daerah yang cukup rawan. Saya takut sekali, sampai tak bisa berbuat apa-apa
selain menangis tersedu-sedu.
Apa yang saya alami ternyata tidak cukup
mencekam dibandingkan anak-anak Pulau Legundi, satu pulau kecil diantara
pulau-pulau kecil lainnya yang masuk provinsi Lampung. Setiap malam memang
tidak ada listrik di pulau itu. Sumber penerangan hanya dari generator yang
dinyalakan sesekali. Jangan tanya bagaimana mereka belajar. Mereka tidak
belajar, karena memang sekolah hanya beberapa kali seminggu.
Ibu guru yang bertugas mengajar di pulau itu
tinggal di Teluk Betung, Bandar Lampung dan jelas tidak mampu kalau harus
membayar charter perahu sebesar Rp 100.000 setiap berangkat mengajar. Jadilah
sekolah mereka jadi tempat berteduh kambing di siang hari sekaligus tempat
kambing itu tidur di malam hari.
Listrik juga
menjadi barang mahal di Nias Selatan. Saya pernah menginap di suatu hotel
lumayan mewah (untuk ukuran daerah itu) dan listriknya tidak menyala. Untung saja, hotel
punya generator jadi saya dan teman-teman masih bisa menikmati santap malam
dengan nyaman. Akan tetapi, saya tidak bisa membayangkan bagaimana nasib
anak-anak yang keesokan paginya harus bersekolah atau bagaimana nasib nelayan
yang harus menambal jala untuk berangkat esok Subuh.
Saya pernah bertanya kenapa sih listrik padam
terus, terutama di Pulau Sumatera? Padahal kan dari pulau ini lah batu bara sebagai
bahan utama pembangkit listrik dikeruk. Jawabannya macam-macam. Ada yang bilang, karena
beberapa pembangkit listrik menggunakan bahan bakar minyak (BBM), dan BBM harganya naik terus, jadi terpaksa PLN mengadakan pemadaman bergilir. Alasan lain adalah karena pembangkit listrik yang sudah tua sehingga kinerjanya tidak optimal. Atau ada pula alasan penggunaan listrik terlalu boros sehingga daya yang dihasilkan PLN tidak cukup untuk menerangi seluruh penjuru negeri.
Alasan-alasan itu tentu saja membuat rakyat semakin geram. Apalagi, hampir setiap tahun ada kenaikan tarif dasar listrik (TDL). Kenaikan ini jelas diikuti oleh kenaikan harga-harga lainnya. Padahal, kenaikan TDL tidak diimbangi dengan meningkatnya pelayanan PLN. Listrik padam, bayar listrik tetap saja antre, dan seringkali ada kesalahan perhitungan tagihan listrik.
TITIK TERANG PLN
Saat
Dahlan Iskan diangkat menjadi Direktur Utama PLN pada 23 Desember 2009,
barulah titik terang terlihat. Dengan
motto bekerja, bekerja, dan bekerja, PLN di tangan Dahlan Iskan membuat
berbagai gebrakan. Listrik pra bayar, misalnya, membuat orang tak lagi harus
antre berjam-jam untuk bayar tagihan listrik. Sekarang, hanya dengan mengisi
voucher, orang bisa menikmati listrik dengan pemakaian yang diatur sendiri. Jumlah
pelanggan listrik pintar ini terus meningkat, hingga mencapai 5 juta pelanggan
pada Mei 2012.
Selain
itu, bagi pelanggan regular, tagihan listrik juga bisa dibayar lewat anjungan
tunai mandiri (ATM) sebagian besar bank. Pelanggan juga bisa mengecek tagihan
listriknya secara online kewat situs PLN di www.pln.co.id.
Sungguh praktis. Tinggal masukkan nomor rekening listrik anda, langsung keluar
angka yang harus dibayar. Sangat berbeda dengan masa lalu dimana orang harus
antre berjam-jam untuk membayar tagihan listrik…
Dahlan juga membuat gerakan sehari sejuta sambungan (GRASS), untuk menjangkau
daerah-daerah yang belum tersentuh listrik. Kini, orang tak perlu
bertahun-tahun antre agar rumahnya terang benderang. Bahkan, di wilayah timur Indonesia,
seperti NTT, PLN sudah menggagas program lampu super ekstra hemat energi (SEHEN).
Ini adalah listrik tenaga surya model baru. Melalui program ini, masyarakat
terpencil, yang selama ini hanya mimpi punya listrik, sudah bisa menikmati
acara televisi.
Di dalam perusahaan, PLN juga menerapkan Good
Corporate Governance. Artinya, PLN berusaha jadi perusahaan yang bersih dan profesional.
Lalu, apa yang
harus diperbaiki dari PLN ? Banyak…
Di usianya yang
ke-67, PLN harus lebih bersih dan profesional. PLN harus bisa mengubah image
korupsi dan tidak efisien yang selama ini melekat.
Listrik harus bisa menjangkau seluruh wilayah Indonesia tanpa terkecuali. Saat ini, masih
ada daerah-daerah yang rasio elektrifikasinya rendah. Padahal, daerah-daerah
itu, seperti Papua, misalnya, adalah daerah potensial, dengan sumber daya alam
dan manusia yang melimpah…Bagaimana wilayah timur Indonesia mau berkembang jika
infrastruktur kelistrikannya payah ?
PLN juga harus
memastikan tidak ada lagi pemadaman, baik bergilir atau spontan. Pemadaman
listrik itu "sesuatu
banget", mengutip istilah anak muda sekarang . Listrik mati memang membuat perasaan enggak enak dan hidup enggak
nyaman.
Ada kewajiban lain yang seharusnya dilakukan PLN, sebagai perusahaan milik pemerintah. Sudah saatnya PLN mendidik dan membina masyarakat agar mandiri energi, sehingga tidak tergantung pada PLN. Banyak sekali sumber daya yang bisa dijadikan sebagai energi alternatif. Misalnya, minyak jarak atau biogas. PLN selayaknya memberikan pendampingan dan penghargaan pada masyarakat yang mau berbuat lebih...
Selamat ulang tahun PLN...semoga semakin bersinar dan cahayamu tak padam lagi...
sumber: www.pln.co.id