Sabtu, 10 November 2012

Andai Aku Menjadi Ketua KPK...


Kenangan itu masih terus menghentak dan menghantui diri saya. Seorang nenek menangis karena tidak beroleh jatah beras untuk rakyat miskin. Alasannya, dia belum membayar “uang administrasi” bagi oknum kelurahan. Saat akhirnya dia mendapat beras itu karena dapat pinjaman uang untuk membayar, alamak, berasnya bau dan berkutu. Tak ada pilihan, beras itu ditanaknya juga karena tak ada lagi yang bisa dimakan.

Oh, saya menangis. Dimana KPK dan para pembela keadilan itu? Seandainya saya jadi ketua KPK, saya akan berantas korupsi di semua lini. Sasaran saya terutama koruptor kelas kakap yang karenanya rakyat tak bisa makan, sekolah, dan berobat dengan murah. Sebagai ketua KPK, saya akan membangun penjara yang lebih besar, di dalamnya tidak ada fasilitas mewah, hanya fasilitas minim setara dengan pencuri kelas teri yang biasa digebuki.

Para koruptor akan mendapat baju seragam, tulisannya “KORUPTOR ABADI”. Hartanya dirampas, diserahkan pada negara, dan mereka dimiskinkan tujuh turunan. Saya akan permalukan para koruptor agar tidak ada lagi yang masuk bui sebagai pesakitan namun keluar dianggap pahlawan.

Sebagai ketua KPK, saya tak akan gentar terhadap semua ancaman. Kalau perlu, saya pakai kekuatan rakyat. Semua langkah saya diketahui masyarakat. Dengan demikian, saya bisa bebas menangkap para petinggi atau kolega petinggi negeri ini yang korupsi.

KPK di bawah pimpinan saya juga akan memberikan pendidikan antikorupsi di semua tingkatan pendidikan, mulai playgroup sampai kuliah. Saatnya negeri ini melek korupsi. Kaya karena korupsi itu bukan prestasi. Justru miskin tapi antikorupsi yang harus dihargai.

http://lombablogkpk.tempo.co/index/tanggal/576/Khairina.html

Selasa, 16 Oktober 2012

PLN...Semoga Cahayamu Tak Padam Lagi

Di Solo, tempat tinggal saya, dia dinamai oglangan. Namun, di Bandung, daerah kelahiran saya, kondisi seperti itu dinamakan aliran. Agak aneh ya? aliran kan sebenarnya istilah untuk sesuatu yang mengalir, misalnya aliran air atau aliran listrik. Namun, istilah aliran malah dipakai untuk kondisi MATI LAMPU alias listrik padam atau tak ada aliran listrik yang mengalir.

Saya belum tahu apa penyebab mati lampu disebut aliran. Yang saya tahu, setiap ada teriakan "aliraaaaannn...", semua pasti kalang kabut. Warung dan mini market dekat rumah diserbu masyarakat yang ingin membeli lilin dan bapak-bapak pengamanan di kompleks rumah saya kalang kabut berjaga. Maklum, meski rumah saya di kompleks, tapi dibatasi oleh jalan tembus, perkampungan, tanah kosong, bahkan kebun bambu yang angker. Tanpa penerangan yang memadai, kompleks rumah saya adalah sasaran empuk orang-orang berniat jahat.

Saat saya mengalami mati lampu di Bandung dan sekarang di Solo, rasanya sedih sekali. Namun, ternyata perasaan itu tidak ada apa-apanya dibandingkan saat saya harus berada dalam kondisi tanpa listrik di Lampung, ujung timur pulau Sumatera. Bertugas di provinsi itu selama satu tahun membuat saya nyaris terbiasa dalam kondisi was was dan ketakutan dalam kegelapan.

Bayangkan saja, tengah malam buta, sepulang bertugas meliput kondisi jalan raya Simpang Pematang-Pematang Panggang hingga perbatasan Sumatera Selatan, tiba-tiba ban mobil saya pecah. Jalanan gelap, tak ada listrik. Beruntung, supir mobil yang menemani saya berhasil mengganti ban sehingga kami bisa pulang. Namun, saat itu bibir saya tak henti-hentinya melantunkan doa, dzikir, dan ayat suci, mohon diberikan keselamatan.

Kondisi mencekam lainnya saya alami saat tengah bekerja di kantor. Saat itu pukul 8 malam, hujan deras, dan tiba-tiba lampu padam. Ruangan kerja saya di lantai dua, dan saat saya turun ke bawah, saya baru sadar kalau di kantor tidak ada orang. Padahal, kantor saya berada di daerah yang cukup rawan. Saya takut sekali, sampai tak bisa berbuat apa-apa selain menangis tersedu-sedu.

Apa yang saya alami ternyata tidak cukup mencekam dibandingkan anak-anak Pulau Legundi, satu pulau kecil diantara pulau-pulau kecil lainnya yang masuk provinsi Lampung. Setiap malam memang tidak ada listrik di pulau itu. Sumber penerangan hanya dari generator yang dinyalakan sesekali. Jangan tanya bagaimana mereka belajar. Mereka tidak belajar, karena memang sekolah hanya beberapa kali seminggu.
Ibu guru yang bertugas mengajar di pulau itu tinggal di Teluk Betung, Bandar Lampung dan jelas tidak mampu kalau harus membayar charter perahu sebesar Rp 100.000 setiap berangkat mengajar. Jadilah sekolah mereka jadi tempat berteduh kambing di siang hari sekaligus tempat kambing itu tidur di malam hari.

Listrik juga menjadi barang mahal di Nias Selatan. Saya pernah menginap di suatu hotel lumayan mewah (untuk ukuran daerah itu) dan listriknya tidak menyala. Untung saja, hotel punya generator jadi saya dan teman-teman masih bisa menikmati santap malam dengan nyaman. Akan tetapi, saya tidak bisa membayangkan bagaimana nasib anak-anak yang keesokan paginya harus bersekolah atau bagaimana nasib nelayan yang harus menambal jala untuk berangkat esok Subuh.

Saya pernah bertanya kenapa sih listrik padam terus, terutama di Pulau Sumatera? Padahal kan dari pulau ini lah batu bara sebagai bahan utama pembangkit listrik dikeruk. Jawabannya macam-macam. Ada yang bilang, karena beberapa pembangkit listrik menggunakan bahan bakar minyak (BBM), dan BBM  harganya naik terus, jadi terpaksa PLN mengadakan pemadaman bergilir. Alasan lain adalah karena pembangkit listrik yang sudah tua sehingga kinerjanya tidak optimal. Atau ada pula alasan penggunaan listrik terlalu boros sehingga daya yang dihasilkan PLN tidak cukup untuk menerangi seluruh penjuru negeri.

Alasan-alasan itu tentu saja membuat rakyat semakin geram. Apalagi, hampir setiap tahun ada kenaikan tarif dasar listrik (TDL). Kenaikan ini jelas diikuti oleh kenaikan harga-harga lainnya. Padahal, kenaikan TDL tidak diimbangi dengan meningkatnya pelayanan PLN. Listrik padam, bayar listrik tetap saja antre, dan seringkali ada kesalahan perhitungan tagihan listrik. 


TITIK TERANG PLN
Saat  Dahlan Iskan diangkat menjadi Direktur Utama PLN pada 23 Desember 2009, barulah titik terang  terlihat. Dengan motto bekerja, bekerja, dan bekerja, PLN di tangan Dahlan Iskan membuat berbagai gebrakan. Listrik pra bayar, misalnya, membuat orang tak lagi harus antre berjam-jam untuk bayar tagihan listrik. Sekarang, hanya dengan mengisi voucher, orang bisa menikmati listrik dengan pemakaian yang diatur sendiri. Jumlah pelanggan listrik pintar ini terus meningkat, hingga mencapai 5 juta pelanggan pada Mei 2012.

Selain itu, bagi pelanggan regular, tagihan listrik juga bisa dibayar lewat anjungan tunai mandiri (ATM) sebagian besar bank. Pelanggan juga bisa mengecek tagihan listriknya secara online kewat situs PLN di www.pln.co.id. Sungguh praktis. Tinggal masukkan nomor rekening listrik anda, langsung keluar angka yang harus dibayar. Sangat berbeda dengan masa lalu dimana orang harus antre berjam-jam untuk membayar tagihan listrik…

Dahlan juga membuat gerakan sehari sejuta  sambungan (GRASS), untuk menjangkau daerah-daerah yang belum tersentuh listrik. Kini, orang tak perlu bertahun-tahun antre agar rumahnya terang benderang.  Bahkan, di wilayah timur Indonesia, seperti NTT, PLN sudah menggagas program lampu super ekstra hemat energi (SEHEN). Ini adalah listrik tenaga surya model baru. Melalui program ini, masyarakat terpencil, yang selama ini hanya mimpi punya listrik, sudah bisa menikmati acara televisi.

Di dalam perusahaan, PLN juga menerapkan Good Corporate Governance. Artinya, PLN berusaha jadi perusahaan yang bersih dan profesional.

Lalu, apa yang harus diperbaiki dari PLN ? Banyak…

Di usianya yang ke-67, PLN harus lebih bersih dan profesional. PLN harus bisa mengubah image korupsi dan tidak efisien yang selama ini melekat.

Listrik harus bisa menjangkau seluruh wilayah Indonesia tanpa terkecuali. Saat ini, masih ada daerah-daerah yang rasio elektrifikasinya rendah. Padahal, daerah-daerah itu, seperti Papua, misalnya, adalah daerah potensial, dengan sumber daya alam dan manusia yang melimpah…Bagaimana wilayah timur Indonesia mau berkembang jika infrastruktur kelistrikannya payah ?

PLN  juga harus memastikan tidak ada lagi pemadaman, baik bergilir atau spontan. Pemadaman listrik itu  "sesuatu banget", mengutip istilah anak muda sekarang . Listrik mati memang membuat perasaan enggak enak dan hidup enggak nyaman.

Ada kewajiban lain yang seharusnya dilakukan PLN, sebagai perusahaan milik pemerintah. Sudah saatnya PLN mendidik dan membina masyarakat agar mandiri energi, sehingga tidak tergantung pada PLN.  Banyak sekali sumber daya yang bisa dijadikan sebagai energi alternatif. Misalnya, minyak jarak atau biogas. PLN selayaknya memberikan pendampingan dan penghargaan pada masyarakat yang mau berbuat lebih...

Selamat ulang tahun PLN...semoga semakin bersinar dan cahayamu tak padam lagi...

sumber: www.pln.co.id