Selasa, 21 Agustus 2018

#RokokHarusMahal, Selamatkan Kelompok Rentan!



Bertahun-tahun lalu, saya pernah bertugas di sebuah daerah di ujung Pulau Sumatera. Blusukan ke berbagai daerah, termasuk daerah terpencil dengan akses jalan yang sulit, saya seringkali menemui anak-anak bergizi buruk. Temuan itu saya tulis dalam laporan jurnalistik dan dimuat di media tempat saya bekerja saat itu.

Singkat cerita, beberapa pihak yang membaca tulisan saya tertarik membantu anak-anak bergizi buruk. Mereka mengirimkan sejumlah uang dan meminta saya membelikan susu dan aneka makanan bergizi agar kondisi anak-anak itu membaik.

Maka, saya pun datang lagi ke beberapa lokasi. Kali ini, saya membawa susu bubuk kemasan besar untuk anak usia 1-3 tahun, bubur susu, biskuit, dan lainnya. Saya berharap, bantuan itu akan bermanfaat bagi anak-anak. Maka, betapa kagetnya saya saat bidan desa setempat justru menegur saya.

Mbak, lain kali kalau mau beri bantuan jangan susu kotak besar begini. Kasih yang kecil saja,kata Bidan.

Lha kenapa Bu?tanya saya.

Susu kemasan besar itu nanti diminum sama bapaknya Mbak. Dibikin kopi susu buat teman merokok,cerita Bu Bidan.

Whatt??? Saya kaget setengah mati. Desa-desa yang saya kunjungi itu bukan tergolong daerah yang kaya raya. Sebagian penduduk hidup dari hasil pertanian yang tak seberapa. Rumah berdinding bambu nyaris reyot banyak saya lihat. Ironis, sang bapak rela mengeluarkan uang untuk rokok dan membiarkan anaknya kurang gizi. Teganya lagi, ia rela mencatut jatah susu anak demi memuaskan hasrat merokoknya.

Apa yang saya alami rupanya persis seperti yang diceritakan Manager Pilar Pembangunan Sosial Sekretariat SDGs Bappenas Dr Arum Atmawikarta, MPH. Menurut Arum, data BPS menunjukan bahwa ternyata pengeluaran dari kelompok penduduk miskin untuk rokok itu besar sekali. Jadi, artinya, jika keluarga itu dikategorikan miskin maka dia mengeluarkan uang yang banyak sekali untuk membeli rokoknya.

Data dari Susenas yang dicatat pada periode 2004-2018 menunjukkan, sekitar 22 persen dari pengeluaran digunakan untuk membeli beras, 12-17 persen untuk rokok, tiga persen untuk pendidikan, dan sekitar tiga persen dikeluarkan untuk kesehatan.

Jadi artinya ibu-ibu atau keluarga itu membelanjakan lebih banyak rokoknya daripada memberikan makanan yang lebih baik kepada bayi-bayinya atau balitanya, maupun untuk pendidikan anak-anaknya,kata Arum dalam talkshow serial #RokokharusMahal Ruang Publik KBR, 14 Agustus 2018 lalu.

Rokok sangat mempengaruhi kelompok rentan. Dari segi kesehatan, mereka yang termasuk kelompok rentan dari aspek kesehatan adalah bayi, balita, ibu hamil, ibu menyusui, dan menderita penyakit.

Namun, kata Arum, ada kelompok rentan yang paling luas lagi yakni kelompok yang miskin, yaitu yang berpendapatan pada kuintil 1 dan kuintil 2. Jumlahnya, berdasarkan survei BPS yang baru saja diumumkan, sekitar 9,7 persen. Ada juga kelompok marjinal lain yaitu yang tinggal di daerah-daerah yang memang sulit dan terpencil.

Tak heran, di desa yang saya datangi, yang terletak jauh di kaki gunung dengan jalan berbatu-batu, kaum pria nya justru getol merokok. Sementara, kaum perempuan harus memutar otak agar semua kebutuhan rumah tangga terpenuhi. Dan, dengan keuangan sangat terbatas, gizi anak terpaksa dikorbankan. Saya lihat sendiri, anak usia balita hanya diberi makan nasi dengan oseng-oseng kulit melinjo atau kuah soto. Dari mana gizi untuk tumbuh kembangnya didapat?

Lalu, apa yang harus dilakukan?

Menurut Arum, yang terpenting adalah bagaimana melindungi agar rokok tak mudah diakses oleh kelompok-kelompok rentan. Lalu, harga rokok harus mahal. Di Indonesia, harga rokok terlalu murah dibandingkan negara-negara lain. Apalagi, rokok bisa dibeli secara eceran. Anak usia sekolah pun mudah mendapatkan rokok. Survey menunjukkan, penduduk miskin rata-rata dalam sehari mengonsumsi 11 batang rokok.

Salah satu kelompok rentan yang harus dilindungi adalah anak-anak usia di bawah 15 tahun. Di Indonesia, angka anak-anak yang mengonsumsi rokok jumlahnya terus meningkat setiap tahun.

Naikkan Harga Jual

Salah satu cara mengurangi konsumsi rokok adalah dengan menaikkan harga rokok. Di berbagai negara, menaikkan harga rokok 10 persen saja ternyata menekan jumlah perokok pada penduduk miskin hingga 16 persen. Sementara, pada kelompok kaya, jumlah perokok turun tujuh persen.

Dorongan untuk harga itu supaya lebih mahal, sudah kami lakukan, tetapi mungkin sebenarnya kalau di Indonesia harus penuh kesabaran. Dulu kan sudah ada rame-rame bahwa ada kajian berbagai pusat kebijakan, harga rokok itu harus dinaikan sampai 50 ribu. Tetapi, pada pelaksanaannya, kenaikan harganya itu tidak sampai 50 ribu dan sebagainya. Kita harus berjuang keras untuk hal itu,ujar Arum lagi.

Hak Untuk Sehat

Wakil Kepala Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI) Dr Abdillah Ahsan menambahkan, dalam konstitusi sudah diamanatkan pengendalian dan pengurangan konsumsi rokok.

Dalam Undang-undang Dasar 45 ada hak sehat, salah satu hak asasi manusia. Kemudian, ada UU Cukai yang menyatakan bahwa tarif beban cukai untuk mengendalikan konsumsi. Ada juga UU Kesehatan yang menyatakan bahwa rokok atau tembakau adalah barang yang adiktif, menimbulkan kecanduan, dan harus dikurangi konsumsinya.

Tiga pijakan ini adalah perintah untuk mengendalikan konsumsi rokok. Jadi pemerintah itu harus satu, harus bulat, yakin, dan percaya diri dalam mengendalikan konsumsi rokok. Karena seolah-olah saat ini yang kita lihat, di berita-berita, wacana-wacana, itu pemerintah tidak PD. Pemerintah tidak yakin ketika dia naikan tarif cukai untuk menaikan harga rokok. Pemerintah tidak yakin pada saat iklan rokok akan dilarang,kata Abdillah lagi.

Pertumbuhan ekonomi, jelas Abdullah, tidak boleh diserahkan kepada industri rokok. Mengendalikan konsumsi rokok membuat masyarakat sehat dan itu berguna bagi perekonomian. Pekerja yang merokok produktivitasnya lebih rendah dibandingkan mereka yang tidak merokok karena mereka butuh waktu untuk merokok. Belum lagi mereka yang sakit akibat rokok, saat sakit itu dia tidak bisa bekerja. Masyarakat yang panjang umur dan sehat bisa produktif.

Arum menambahkan, secara garis besar, kalau ingin membatasi atau mengendalikan rokok, ada tiga kebijakan yang harus betul-betul diterjemahkan pada keadaan yang nyata nanti di lapangan. Pertama, mencegah konsumsi rokok bagi yang belum merokok. Yang kedua, memperkecil akses atau tempat-tempat dimana rokok itu bisa dibeli dengan mudah. Di negara-negara maju, misalnya, dijelaskan bahwa yang boleh merokok itu minimal usia 21 tahun dan hanya dijual di supermarket pada kotak khusus. Ketiga, membantu orang yang sudah kecanduan rokok.

Promosi kesehatan pada tingkat keluarga harus terus dilakukan. yaitu supaya kepala keluarga itu tidak merokok, atau jangan merokok di dalam rumah, karena dampaknya terutama kepada bayi, anak-anak dan ibu-ibu yang sedang hamil itu begitu besar sekali. Sudah dibuktikan bahwa keluarga yang merokok, tingkat kematian bayi itu lebih tinggi dibandingkan dengan  keluarga yang tidak merokok.

Bantuan-bantuan program pemerintah yang dikhususkan kelompok rentan dan kelompok miskin itu, jangan digunakan untuk membeli rokok.

#Rokokharusmahal
#Rokok 70ribu
#Rokokmemiskinkan