Sonny Christian Joseph tak mampu menahan rasa harunya saat
berkisah soal “peminjam” pertamanya, seorang janda yang ingin membuka usaha
untuk membiayai keluarganya. Sonny bergetar saat meminjamkan Rp 25 juta dan
sang ibu juga bergetar menerimanya.
Keduanya baru kali ini melakukan transaksi peminjaman.
Beberapa waktu kemudian, rasa gemetar Sonny berubah menjadi
haru. Modal 25 juta yang ia pinjamkan membuat usaha sang ibu berkembang. Ia
bahkan bisa memiliki karyawan. Saat itu lah,
Sonny yakin, jalan hidup yang ia
pilih, mendirikan Batumbu, sebuah perusahaan fintech lending, adalah jalan yang
tepat.
Sonny awalnya seorang bankir. Selama 23 tahun, ia bekerja di
industri perbankan sebelum akhirnya diminta mengembangkan segmen bisnis UKM di
sebuah bank. Dari awalnya hanya ia seorang, bisnis yang ia bangun berkembang
hingga memiliki ribuan karyawan dengan aset lebih dari Rp 15 triliun dalam
waktu 5 tahun.
“Saat itu lah saya sadar, saya ingin melakukan sesuatu yang
lebih bermanfaat bagi orang lain. Ingin menumbuhkan wira UKM dan membuat
perbedaan yang berarti,” kata Sonny dalam acara ngobrol @tempo “Manfaat Ekonomi
Fintech Lending”.
Ia lantas mendirikan Batumbu yang bermakna bertumbuh.
Batumbu ingin memberdayakan Wira UKM di Indonesia untuk tumbuh berkelanjutan.
Tak hanya Batumbu, menurut Deputi Direktur Penelitian,
Pengaturan, dan Pengembangan Fintech Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Munawar di acara ngobrol @tempo,
terdapat 113 perusahaan fintech lending terdaftar atau berizin di OJK. Dari
jumlah itu, 107 merupakan perusahaan konvensional dan 6 lainnya syariah.
Lalu, apa itu fintech lending?
Menurut Munawar, fintech lending adalah layanan pinjam
meminjam uang secara langsung antara kreditur/lender (pemberi pinjaman) dan
debitur/borrower (penerima pinjaman) berbasis teknologi informasi.
Proses bisnis fintech lending memiliki 4 langkah yaitu mulai
dari registrasi anggota, pengajuan pinjaman, pelaksanaan pinjaman, sampai
dengan pembayaran pinjaman dari borrower kepada lender.
“Intinya fintech lending memberikan kemudahan bagi mereka
yang sulit mengakses bank atau membutuhkan pinjaman yang cepat,” jelasnya.
Munawar menambahkan, meski tergolong baru, fintech lending
terbukti telah memberikan kontribusi pada pembangunan ekonomi Indonesia selama
2 tahun terakhir.
Industri ini telah menyerap tenaga kerja sebesar 215.433
orang, meningkatkan penyaluran kredit khususnya ke sektor UMKM, menambah GDP
sebesar RP 25,97 triliun, dan menambah pendapatan (upah dan gaji) sebesar Rp
4,56 triliun.
OJK bersama AFPI sedang membangun Pusat Data Fintech Lending
(PUSDAFIL) yang memungkinkan setiap tahap proses bisnis tercatat dalam sebuah
pusat data secara host-to-host sehingga
pengawasan dapat dilakukan secara real
time.
Kendati mempermudah perorangan atau pemilik usaha dalam
memperoleh pendanaan, Munawar mengingatkan masyarakat untuk tidak terlena. Yang
perlu dipahami, kemudahan meminjam lewat perusahaan fintech juga berarti bunga
yang lebih tinggi dibandingkan bank.
“Sebaiknya meminjam untuk hal produktif seperti usaha dan
tidak meminjam lewat fintech lending untuk kebutuhan yang sifatnya konsumtif,”
kata Munawar seraya mencontohkan seorang nasabah fintech yang terpaksa meminjam
ke puluhan perusahaan karena gali lubang tutup lubang.
Dia juga mengingatkan banyaknya perusahaan fintech illegal.
Jumlahnya bahkan lebih banyak daripada perusahaan fintech yang terdaftar resmi.
Ada 947 penyelenggara fintech lending illegal yang ditutup oleh Satgas Waspada
Investasi (SWI).
Berikut beberapa tips dari OJK untuk kamu yang ingin
meminjam di perusahaan fintech lending:
1.
Pastikan mendaftar di perusahaan yang
terdaftar/berizin di OJK
2.
Pinjam sesuai kebutuhan produktif dan maksimal
30 persen dari penghasilan
3.
Lunasi cicilan tepat waktu
4.
Jangan lakukan gali lubang tutup lubang
5.
Ketahui bunga dan denda pinjaman sebelum
meminjam
6.
Pahami kontrak perjanjian
Munawar juga mengingatkan beberapa
perbedaan antara fontech lending ilegal dan terdaftar. Beberapa di antaranya :
1.
Tidak ada regulator atau pengawas khusus yang
bertugas mengawasi kegiatan fintech lending ilegal. Sebaliknya, penyelenggara fintech lending yang
terdaftar/berizin di OJK berada dalam pengawasan OJK sehingga sangat
memperhatikan aspek perlindungan konsumen.
2.
Penyelenggara fintech lending ilegal mengenakan
biaya dan denda yang sangat besar dan tidak transparan. Sedangkan fintech lending yang terdaftar/berizin OJK diwajibkan
memberikan keterbukaan informasi mengenai bunga, dan denda maksimal yang dapat
dikenakan kepada pengguna. AFPI mengatur bunga maksimal 0,8 persen per hari dan
total seluruh biaya termasuk denda adalah 100 persen dari nilai pokok pinjaman.
3. Penyelenggara
fintech lending ilegal melakukan penagihan dengan cara-cara yang kasar,
cenderung mengancam, tidak manusiawi, bertentangan dengan hukum. Sedangkan tenaga penagih pada fintech
lending yang terdaftar/berizin dari OJK wajib mengikuti sertifikasi tenaga penagih yang dilakukan AFPI.