Rabu, 29 Mei 2019

Fintech Lending: Banyak Manfaat namun Tetap Harus Waspada



Sonny Christian Joseph tak mampu menahan rasa harunya saat berkisah soal “peminjam” pertamanya, seorang janda yang ingin membuka usaha untuk membiayai keluarganya. Sonny bergetar saat meminjamkan Rp 25 juta dan sang ibu juga bergetar menerimanya.

Keduanya baru kali ini melakukan transaksi peminjaman.

Beberapa waktu kemudian, rasa gemetar Sonny berubah menjadi haru. Modal 25 juta yang ia pinjamkan membuat usaha sang ibu berkembang. Ia bahkan bisa memiliki karyawan. Saat itu lah, 
Sonny yakin, jalan hidup yang ia pilih, mendirikan Batumbu, sebuah perusahaan fintech lending, adalah jalan yang tepat.

Sonny awalnya seorang bankir. Selama 23 tahun, ia bekerja di industri perbankan sebelum akhirnya diminta mengembangkan segmen bisnis UKM di sebuah bank. Dari awalnya hanya ia seorang, bisnis yang ia bangun berkembang hingga memiliki ribuan karyawan dengan aset lebih dari Rp 15 triliun dalam waktu 5 tahun.

“Saat itu lah saya sadar, saya ingin melakukan sesuatu yang lebih bermanfaat bagi orang lain. Ingin menumbuhkan wira UKM dan membuat perbedaan yang berarti,” kata Sonny dalam acara ngobrol @tempo “Manfaat Ekonomi Fintech Lending”.

Ia lantas mendirikan Batumbu yang bermakna bertumbuh. Batumbu ingin memberdayakan Wira UKM di Indonesia untuk tumbuh berkelanjutan.

Tak hanya Batumbu, menurut Deputi Direktur Penelitian, Pengaturan, dan Pengembangan Fintech Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Munawar di acara ngobrol @tempo, terdapat 113 perusahaan fintech lending terdaftar atau berizin di OJK. Dari jumlah itu, 107 merupakan perusahaan konvensional dan 6 lainnya syariah.

Lalu, apa itu fintech lending?

Menurut Munawar, fintech lending adalah layanan pinjam meminjam uang secara langsung antara kreditur/lender (pemberi pinjaman) dan debitur/borrower (penerima pinjaman) berbasis teknologi informasi.

Proses bisnis fintech lending memiliki 4 langkah yaitu mulai dari registrasi anggota, pengajuan pinjaman, pelaksanaan pinjaman, sampai dengan pembayaran pinjaman dari borrower kepada lender.
“Intinya fintech lending memberikan kemudahan bagi mereka yang sulit mengakses bank atau membutuhkan pinjaman yang cepat,” jelasnya.
Munawar menambahkan, meski tergolong baru, fintech lending terbukti telah memberikan kontribusi pada pembangunan ekonomi Indonesia selama 2 tahun terakhir.
Industri ini telah menyerap tenaga kerja sebesar 215.433 orang, meningkatkan penyaluran kredit khususnya ke sektor UMKM, menambah GDP sebesar RP 25,97 triliun, dan menambah pendapatan (upah dan gaji) sebesar Rp 4,56 triliun.

OJK bersama AFPI sedang membangun Pusat Data Fintech Lending (PUSDAFIL) yang memungkinkan setiap tahap proses bisnis tercatat dalam sebuah pusat data secara host-to-host sehingga pengawasan dapat dilakukan secara real time.

Kendati mempermudah perorangan atau pemilik usaha dalam memperoleh pendanaan, Munawar mengingatkan masyarakat untuk tidak terlena. Yang perlu dipahami, kemudahan meminjam lewat perusahaan fintech juga berarti bunga yang lebih tinggi dibandingkan bank.

“Sebaiknya meminjam untuk hal produktif seperti usaha dan tidak meminjam lewat fintech lending untuk kebutuhan yang sifatnya konsumtif,” kata Munawar seraya mencontohkan seorang nasabah fintech yang terpaksa meminjam ke puluhan perusahaan karena gali lubang tutup lubang.

Dia juga mengingatkan banyaknya perusahaan fintech illegal. Jumlahnya bahkan lebih banyak daripada perusahaan fintech yang terdaftar resmi. Ada 947 penyelenggara fintech lending illegal yang ditutup oleh Satgas Waspada Investasi (SWI).

Berikut beberapa tips dari OJK untuk kamu yang ingin meminjam di perusahaan fintech lending:
1.       Pastikan mendaftar di perusahaan yang terdaftar/berizin di OJK
2.       Pinjam sesuai kebutuhan produktif dan maksimal 30 persen dari penghasilan
3.       Lunasi cicilan tepat waktu
4.       Jangan lakukan gali lubang tutup lubang
5.       Ketahui bunga dan denda pinjaman sebelum meminjam
6.       Pahami kontrak perjanjian

Munawar juga mengingatkan beberapa perbedaan antara fontech lending ilegal dan terdaftar. Beberapa di antaranya :

1.       Tidak ada regulator atau pengawas khusus yang bertugas mengawasi kegiatan fintech lending ilegal. Sebaliknya, penyelenggara fintech lending yang terdaftar/berizin di OJK berada dalam pengawasan OJK sehingga sangat memperhatikan aspek perlindungan konsumen.

2.       Penyelenggara fintech lending ilegal mengenakan biaya dan denda yang sangat besar dan tidak transparan. Sedangkan fintech lending yang terdaftar/berizin OJK diwajibkan memberikan keterbukaan informasi mengenai bunga, dan denda maksimal yang dapat dikenakan kepada pengguna. AFPI mengatur bunga maksimal 0,8 persen per hari dan total seluruh biaya termasuk denda adalah 100 persen dari nilai pokok pinjaman.

3.       Penyelenggara fintech lending ilegal melakukan penagihan dengan cara-cara yang kasar, cenderung mengancam, tidak manusiawi, bertentangan dengan hukum. Sedangkan tenaga penagih pada fintech lending yang terdaftar/berizin dari OJK wajib mengikuti sertifikasi tenaga  penagih yang dilakukan AFPI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar